Ceritanya ketika SMA itu aku punya temen yang jago banget bikin cerpen. Lumayan tertantang deh jadinya untuk bikin cerpen juga. Alhasil, Alhamdulillah jadi tuh cerpennya. Dan sekarang aku baca lagi cerpen yang cukup usang itu hehe. Meskipun agak alay-alay gimanaa gitu (karena taulah cerita anak SMA kaya gimana haha) tapi cukup seneng dikitlaah karena seengganya pernah nyoba nulis cerpen.
Penasaran sama ceritanya? Let's check it out
Harusnya
Memang Seperti Ini
“Lu kalaaaah hahaha”, telingaku
terasa sakit mendengarnya, bagaimana tidak Bobi berteriak begitu puas tepat di
telingaku.
“Biasa aja kali, ga perlu teriak
juga gue denger !”, gerutuku kesal. Tapi nyatanya gerutuku tak diacuhkan sama
sekali. Bobi sang bandar malah sibuk diskusi dengan anggota lain untuk
menentukan hukuman yang pas untukku.
“Yang pas buat dia itu apa ya?”,
nadanya dibuat-buat seolah-olah sedang berfikir keras sembari menggaruk-garuk
dagu.
“Mending suruh deketin si Adit
a...”, belum sempat Fahmi menyelesaikan usulnya aku secepat kilat menangkisnya.
“Apaan sih lu? Ga ada yang lain
apa? Beresin kamar lu kek atau apa gitu?”, jawabku sedikit kesal.
“Bener juga kata lu Mi, gue kasih
lu waktu 2 minggu, deketin tuh si Adit !”, sambung Bobi.
Apaaaaa!!!, teriakku dalam hati.
“Bobi yang lain kali, pliiis”,
aku sebisa mungkin memasang muka paling memelas sambil memohon-mohon.
(Bobi menggeleng)
“Lu mau bayarin makan kita selama
2 minggu? Segitu gue udah baik ya. Lagian apa susahnya sih deketin si Adit? Dianya suka ini sama lu”, sambungnya hampir
tanpa titik dan koma.
“Yaudahlah Sa, terima aja”
Bahkan sohibku Amel pun tidak
membelaku.
Permainan ini memang konyol.
Seharusnya dari awal aku tak ikut-ikutan. Sejak kapan coba main monopoli pakai
hukuman kaya gini segala. Hm tak ada gunanya pula aku menggerutu seperti ini.
Tapi tetap saja, mereka semua benar-benar kacau. Adit yang mereka maksud itu
adalah cowo pendiam yang selalu duduk di pojok kelas. Meski harus kuakui dia memang pintar dan
setahuku banyak yang menyukainya. Tapi ada satu hal terekstrim yang pernah
dilakukannya, dia pernah menyatakan perasaannya padaku di depan kelas. Entah
apa yang membuatnya bisa berbuat senekat itu.
Aku yakin ini tak semudah yang mereka
bayangkan. Ini sulit dan terlalu memalukan menurutku. Untuk saat ini aku hanya
bisa pasrah.
-0-
“Jangan sia-siain waktu yang udah
gue kasih”, bisik Bobi.
Kalau bukan temen deket, udah gue
pites kali lu, gerutuku dalam hati.
Belum usai rasa jengkelku kepada
Bobi, terdengar seseorang memanggilku. Dari suaranya aku tahu dia perempuan.
“Lisaaa kesini lu!”, ternyata
Amel yang memanggil
“Apaaa?”, jawabku sembari
melangkah dengan sedikit gontai
“Si Adit nyariin lu”, jawabnya
Tak kusadari kata-kata Amel
berulang-ulang terdengar di telingaku
“Jiah malah bengong. Cepetan
samperin gih!”, ucapnya.
Suara Amel sedikit mengagetkanku.
Layaknya robot, langkahku pun langsung menuju dimana Adit berada. Meskipun Amel
tak memberitahu tapi aku tahu Adit pasti di perpustakaan.
Setengah ngos-ngosan aku
menghampirinya. Berdiri mematung tepat di depan meja tempat dia membaca.
Setelah 5 detik berlalu, akhirnya dia mengangkat kepalanya,
“Ada apa?”, terdengar suara agak
berat yang telah lama tak kudengar sedekat ini, aku merasa sedikit...
merindukannya. Secepat kilat aku hilangkan fikiran itu.
“Kata Amel, lu nyariin gue? ”,
jawabku sedikit kaku.
“Kata Amel, lu nunggu gue di
perpus”, jawabnya dengan nada bingung.
Loh?? Ko gini sih?
“ Oh gue ngerti. Dasar Amel!”,
gerutuku kesal
“Hahaha ternyata lu bisa
dikerjain juga ya?” ucapnya begitu ringan
Dia sama sekali tidak berubah,
dia tetap ramah sebagaimana biasanya. Oh Tuhan kenapa aku justru seperti ini.
Dimana Talisa Nindira yang terkenal jutek itu...
“Ga ada yang lucu!”, akhirnya aku
mampu mengeluarkan suara.
“Dasar nona jutek, gitu aja
dianggap serius” ucap Adit. Kulihat terbentuk seulas senyum di bibirnya. Aku
harus cepat-cepat mengakhiri ini, ujarku dalam hati.
“Kalau ga ada yang mau diomongin,
gue pergi sekarang” ucapku ketus sambil berjalan keluar perpustakaan.
Kenapa aku bisa seperti ini?
Tetaplah seperti dulu Lisa, kau tidak menyukainya jadi tak seharusnya kau gugup
seperti ini. Aku terus saja menggerutu sambil mencari-cari si biang kerok Amel
sampai-sampai aku tak menyadari bahwa seseorang sedang menghalangi jalanku sekarang.
Seseorang itu adalah Adhi.
“Lu hampir aja nabrak orang
tadi”, ucapnya galak
“Oh maaf kalau gitu”, jawabku
datar
“Maaf lu diterima’, ucapnya datar
pula
“Misi gue mau lewat”, ujarku
sedikit kesal
“Oke oke” ucapnya sambil
memiringkan badannya memberiku jalan
Lu suka sama orang itu Lis? Lu ga
salah pilih orang? Ujarku terus dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Lu liat Amel?”, tanyaku pada
seseorang yang berada di lorong sekolah
“Kalau ga salah ada di lapangan”,
jawabnya
Setelah mengucapkan terima kasih,
aku langsung melesat menuju lapangan. Setelah sampai di lapangan, terlihat
sosok Amel sedang berdiri berhadap-hadapan dengan seorang lelaki, dari postur
tubuhnya aku tahu itu Adhi.
Belum sempat aku melangkah,
tubuhku terasa ditarik oleh seseorang ketika aku berbalik kulihat Fahmi dengan
tangannya yang masih berada di tanganku kembali dia menarikku.
Apa yang sedang terjadi?? tanyaku
dalam hati
Ketika aku baru saja mau
mengeluarkan suara dia telah terlebih dahulu melepaskan tangannya dari tanganku
seraya berkata, “Lu jangan ngerusak kebahagiaan orang kali. Tadi lu mau
nyamperin Amel kan? Dia tuh lagi ditembak sama si Adhi. Masa lu.....”
Aku tidak dapat mendengar lagi
lanjutan dari penjelasan Fahmi tersebut. Kata ‘ditembak’ terus mengiang di telingaku. Amel ditembak
Adhi? Adhi nembak Amel? Amel ditembak Adhi?, tubuhku oleng. Untung Fahmi segera
menyadarkanku.
“Lu kenapa?”, tanyanya khawatir
“Ga kenapa-kenapa. Gue mau ke
toilet dulu ya” jawabku sekadarnya seraya pergi meninggalkan Fahmi yang masih
berdiri terpaku.
-0-
Semenjak kejadian tadi,
konsentrasiku akan pelajaran pun menjadi sedikit berkurang. Amel yang merupakan
teman sebangku pun hanya bicara sedikit sedari tadi. Aku ingin sekali
menanyakan tentang apa yang tadi kudengar dari Fahmi, tapi aku takut.
“Talisa!”, panggil Bu Guru
“I-Iya Bu”, jawabku sedikit panik
“Kerjakan soal no 13 di papan
tulis”, perintahnya
Kini semua mata anak sekelas
tertuju padaku, aku hanya bisa menghela nafas sambil beranjak dari bangkuku dan
berjalan ke arah papan tulis dengan langkah malas.
Untung gue udah belajar bagian
ini, ucapku tenang dalam hati
Aku harus melupakan hal ini untuk
sementara waktu. Kini waktunya belajar, berarti saatnya aku untuk fokus
terhadap pelajaran, tekanku dalam hati. Tapi tetap saja, ternyata sulit.
-0-
Hari ini adalah hari
ulang tahun Bobi, semua teman-temannya diundang ke pestanya terlebih anak
buahnya dalam permainan monopoli dia telah mewajibkan kami untuk datang
semenjak pesta ulang tahunnya masih dalam tahap rencana. Sebetulnya aku malas
datang, terlebih aku malas bertemu Adhi.
Tapi aku tidak enak hati kepada Bobi. Aku paling tidak suka berada di
posisi seperti ini. Sikap egoisku akan mudah sekali keluar.
“Heuh gimana nanti aja deh”,
ucapku sambil membenamkan wajahku ke arah bantal.
-0-
Ibu menyarankanku untuk pergi.
Aku pikir Ibu telah memberi saran yang terbaik. Jadi aku memutuskan untuk pergi
walau sebetulnya baju yang kupakai pun hanya sekedarnya.
Sesampainya aku di rumah Bobi.
Semua undangan serempak bertepuk tangan, tersenyum dan mereka menyorakiku. Aku
sadar aku telah telat 1 jam tapi aku tidak mengerti dengan sikap mereka yang
seperti ini. Apa maksudnya ini? Perasaan panik mulai kurasa.
“Hey Lisa hey Adit kenapa pada
diem disitu? Sini gabung”, teriak salah seorang dari kerumunan undangan.
Adit? Dimana Adit? Ga ada dia
disini, ucapku bingung seraya membalikkan badan dan kulihat sosok lelaki yang wajahnya begitu
kukenal, dia tersenyum kaku. Apakah dia betul-betul Adit? Mengapa dia terlihat
sedikit berbeda dengan kaos abu-abunya itu?
Tunggu. Kaos abu-abu? Refleksa
aku melihat ke arah baju yang kupakai. Aku baru menyadari bahwa kami memakai
baju yang berwarna sama. Apakah ini arti dari sorak-sorai tadi? Aku belum
mendapat jawaban, ketika kusadari aku tersenyum, buru-buru aku kembali
membalikkan badan dan dan berjalan ke arah Amel dkk tanpa menghiraukan Adit
yang masih diam terpaku di belakangku.
-0-
Suasana pesta malam ini begitu
meriah. Sorak-sorai terdengar di setiap sudut rumah. Suara dentuman musik pun
ikut meramaikan. Kini lagu yang begitu kukenal sedang diputar “Westlife-More
Than Word”, tanpa sadar aku pun ikut menyanyikan lagu tersebut, sampai akhirnya
aku berhenti bernyanyi dan digantikan oleh desiran darah yang dilanjutkan
dengan detak jantung yang terasa makin cepat senada dengan langkah Adhi yang
kian mendekatiku.
“Congrats, couple grey”, ucapnya
dengan wajah yang begitu keren dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Aku tak
mendengarkan ucapannya dengan baik yang
kuperhatikan saat ini hanya wajahnya dan wajahnya.
Aku membalasnya dengan senyuman
kembali dan mengucapkan terima kasih.
“Adhi”, teriak seorang perempuan,
aku tahu itu suara Amel. Lamunanku seketika itu buyar.
“Lisa, lu disini juga”, ucapnya
seraya melangkah ke arahku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
“Sekalian nih gue mau pamit
pulang duluan hehe. Dhi pulang sekarang aja yuk”, ucapnya sambil menatapku dan
Adhi bergantian.
Mereka mau pulang bareng?? aku
menunggu jawaban Adhi.
Dia mengangguk pada Amel dan
kemudian beralih menatapku.
“Tadi gue liat Adit berdiri
sendirian di halaman”, ucapnya sembari mengerlingkan matanya.
“Gue sama Amel duluan ya”,
lanjutnya.
Mereka pun pergi dan menyisakan
aku yang kini berdiri mematung dengan wajah lesu. Mataku terasa panas. Kini
yang terlintas di fikiranku hanyalah pulang, pulang dan pulang. Aku tak mau
mempermalukan diri sendiri di tengah-tengah kerumunan oraang seperti ini.
Dengan tergesa aku pamit pada
Bobi dan melesat pulang ke rumah.
-0-
“Pestanya Bobi seru ya. Apalagi
pas bagian best couple award. Tau gitu gue ajak deh cowo gue kesana kemaren”,
ujar seorang anak perempuan kepada temannya.
“Baru juga nyampe sekolah, udah
ada topik baru lagi ckckck”, gerutuku seraya berjalan makin cepat menuju kelas.
-0-
Aku duduk termenung di bangkuku,
lamunanku seketika itu buyar ketika terdengar seseorang dengan semangatnya
berkata,
“Bob, pesta lu semalem asli keren
banget. Sayang banget yang pada pulang duluan. Lu mau tau ga pesta lu itu pesta
terkeren yang pernah gu datengin hahaha”, ternyata suara itu berasal dari
Fahmi.
“Makasih makasih”, ucap Bobi
Kenapa semua orang mengelu-elukan
pestanya Bobi sih?, kembali aku menggerutu dalam hati.
“Lisa ko ga bareng Adit lagi?”,
tanya Adhi
“Dia kejebak macet, karena gue ga
suka nunggu lama jadi gue duluan aja ke kelas”, jawabku asal dengan nada ketus.
Entah kenapa semenjak pesta
semalam, aku jadi merasa kesal kepada Adhi. Rasanya aku ingin cepat-cepat
menghilangkan perasaan sukaku padanya. Tapi bagaimana caranya??
Ketika aku sibuk memikirkan cara,
terdengar seseorang berteriak dari luar kelas,
“Lisa pangeran lu dateng tuh”
Seketika itu aku menengok ke arah
pintu. Adit datang. Tiba-tiba muncul ide di otakku. Kenapa ga beneran gue
deketin aja si Adit? Toh gue emang masih dalam masa hukuman ini kan? Kembali
seulas senyum menghiasi bibirku.
-0-
“Mau ke kantin ga?”, tanyaku
kepada Adit yang masih menyalin materi dari papan tulis.
Entah dia kaget atau apa, kata
yang keluar dari mulutnya hanyalah kata “ Hah?” tapi dengan cepat dia
melanjutkan,
“Iya mau, tapi bentar ya gue
beresin dulu ini. Tanggung hehe”
“Yaudah iya, tapi express ya
nulisnya ”, ujarku sedikit girang.
Dia hanya mengangguk sembari
tertawa terkikih. Kini Bobi dkk melihat ke arahku dengan raut wajah
sedikit bingung. Aku menyadari itu tapi
aku pura-pura tak sadar.
“Cepet juga perkembangannya si
Lisa ya”, ucap Fahmi. Meskipun suaranya setengah berbisik tapi aku tetap mampu
mendengarnya. Selagi menunggu Adit, ekor mataku melihat ke sekeliling kelas,
sampai akhirnya aku melihat sesuatu yang agak ganjil. Adhi mentap kearahku dan
Adit dengan pandangan agak sinis.
“Apa maksudnya ini?”, tanyaku
“Maksud apa?”, tanya Adit
Hah, ternyata tadi aku
mengeluarkan suara? Gawat nih.
“Bukan apa-apa. Nulisnya udah?”,
jawabku cepat
“Udah ko”, jawabnya
“Yaudah sekarang aja yuk ke
kantinnya”, ucapku seraya berdiri
Adit mengiyakan dan kami pun
pergi ke kantin bersama.
-0-
Masa hukuman telah berhasil aku
lewati. Tetapi aku dan Adit tetap terlihat dekat malah makin dekat. Kami tetap
ke kantin bersama, pulang bersama, belajar bersama bahkan menghabiskan waktu
luang bersama. Kini aku menjadi banyak tahu tentang dirinya begitupun
sebaliknya. Kesan jutek mulai pudar semenjak aku dekat dengannya. Entah mengapa
aku mulai merasa nyaman bersamanya. Satu hal yang paling aneh kurasa, setiap dia
tersenyum padaku pasti aku akan membalasnya dengan senyuman yang dimiliki orang
paling bahagia. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah aku telah sepenuhnya
melupakan perasaanku pada Adhi? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus
mengiang di telingaku.
“Adit, maaf ya lu gue jadiin
pelampiasan”, ucapku pada diri sendiri.
-0-
“Talisa Nindira”, panggil
seseorang
Tak perlu aku membalikkan badan
untuk mencari tahu karena hanya Adit lah yang memanggilku dengan nama lengkap
seperti itu.
“Ada apa Aditya Rizki?”, tanyaku
“Si Adhi nitip sesuatu ke gue.
Gue masukin langsung ke tas lu aja ya”, jawabnya sembari membuka tasku.
“Eeh apaan emang? Sini gue liat
dulu!”, ucapku sambil menarik tasku darinya. Tapi apa daya tenaganya lebih kuat
dariku.
“Udah tenang aja gue yakin bukan
bom isinya”, ucapnya sambil mengerlingkan matanya.
“Untuk memastikan lu liatnya di
rumah. Gue anterin lu pulang ya”, lanjutnya
“Ko lu...”, belum sempat aku
melanjutkan kalimatku, dia telah memotongnya dan kembali mengeluarkan suara.
“Ini perintah dari Adhi-nya.
Udahlah ikutin aja ya”
Meskipun Adit terlihat begitu misterius saat ini. Tapi aku
pikir lebih baik untuk mengiyakannya saja. Aku pun mengangguk dan melangkah
duluan menuju tempat parkir.
-0-
Motor Adit kini telah tiba di
depan rumahku. Aku pun bergegas turun.
“Masuk dulu yuk”, ajakku
“Kapan-kapan deh ya. Udah sore
soalnya”, ucapnya seraya melambaikan tangan
“Makasih ya”, teriakku saat dia
telah melajukan motornya kembali.
Aku berlari menuju kamar dan
langsung mengunci pintu. Kemudian aku membuka tasku pelan-pelan.
“Apa yang Adhi titipin sih?”, tanyaku
terus dalam hati
Pertanyaanku menggantung di
otakku saat kulihat sebuah amplop berwarna hijau di sela-sela bukuku.
“Apa betul ini yang dititipin? Ko
gue ga yakin ya?”, ucapku seraya mengambil amplop itu. Aku bolak balik amplop
tersebut terlebih dahulu sebelum akhirnya aku membuka amplopnya dan terlihatlah
secarik kertas berwarna hijau pula.
Sejak kapan dia tau gue suka
hijau atau apa ini cuma kebetulan?, ucapku tiba-tiba
Perlahan kubuka kertas hijau tersebut
dan kutemukan banyak sekali kata disana. Kubaca dengan perlahan kata-kata
tersebut.
Untuk Talisa Nindira
Mungkin udah saatnya gue jujur
sama lu.
Soal kedekatan gue sama Amel,
sebenarnya itu cuma gosip kelas yang dirancang oleh Bobi dkk buat memacu lu
biar lebih deket sama Adit. Maaf gue baru bilang sekarang karena gue tahu
hari-hari sebelumnya lu masih dalam masa hukuman.
Lis, jujur udah lama gue suka
sama lu. Dan asal lu tahu, gue cemburu pas lu deket sama Adit dan rasanya tuh
sakit banget saat gue juga harus ikut-ikutan manas-manasin lu.
Maaf karena gue baru berani
ngungkapin perasaan gue sekarang. Tapi sebelum terlambat.
Lu mau ga jadi pacar gue?
Adhi
Argiansyah C
Bukan raut wajah senang yang kini
aku tunjukkan. Aku tahu itu karena perasaan bingunglah yang kini menyelimuti
otakku. Kuakui aku masih menyukai Adhi sedangkan Adit, aku pun mulai
menyukainya. Aku paling tak suka berada di posisi seperti ini. Karena aku tak
pandai membuat keputusan.
Kutenangkan diriku dan langsung
mengambil handphone kemudian mengirimkan sms kepada Adhi dan Adit.
“Oh Tuhan, semoga pilihanku kali
ini benar”, ucapku seraya menutup wajahku dengan telapak tangan.
-0-
Kulangkahkan kaki diatas lantai
keramik sekolah dengan perasaan gugup, sepanjang jalan aku terus menghembuskan
nafas sekuat mungkin berharap aku bisa tenang sedikit tapi tak berhasil. Justru
detak jantungku terasa semakin cepat ketika langkahku mulai mendekati kelas.
Kemudian kulihat Adit melambaikan
tangannya padaku dan mulai mendekat ke arahku. Aku tak berani mengeluarkan
suara terlebih dahulu dan sepertinya Adit mengerti karena tak lama dia pun mengeluarkan
suaranya.
“Sejak awal gue udah tau kalau
gue memang ga akan pernah jadi pacar lu. Tapi gue seneng karena setidaknya
sekarang gue sama lu punya status yang
pasti yaitu SAHABAT”, ucapnya seraya mengacungkan jari kelingkingnya.
Setelah mendengar kata-kata Adit
tersebut dengan senang hati jari
kelingkingku menyambut jari kelingkingnya dan kami pun tertawa bersama. Hening
tercipta seketika ketika Adit menyikutku dan kulihat Adhi keluar dari dalam
kelas dan menghampiriku. Perasaan gugup kembali menyelimutiku. Dia tersenyum
dan memberikanku selembar kertas yang ketika kubuka, kulihat sebuah gambar
dimana seorang perempuan dengan seragam putih abu-abunya terlihat serius
membaca. Agak lama, tetapi akhirnya aku sadar seseorang itu adalah aku. Belum
puas aku memerhatikan gambarannya. Adhi membalikkan kertasnya dan terbaca
sebuah tulisan berbunyi,
“Thank’s because you’ve
already accepted me to be your boyfriend. I love you Talisa Nindira”
Senyum 3 jari kini menghiasi
bibirku kemudian kutatap Adhi lekat-lekat dan kemudian dia pun mengusap-usap
rambutku.
“PJ woooy PJ”, teriak Fahmi, Bobi
dan Amel dari dalam kelas.
“PASTII, TENANG AJAA”, teriak
Adhi dengan lantangnya seraya tertawa dan diikuti olehku dan Adit.
Tak ada yang tersakiti
Semua bahagia kini
Seharusnya dari awal kusadari
Harusnya memang seperti ini
TAMAT
Yaa begitulah hasil dari penulis amatir. Masih banyak banget kurangnya tapi pastinya terus coba diperbaiki. Jangan lupa commentnya yaa :)