Sabtu, 26 Maret 2016

Home Sweet Home



Tak terasa saat ini aku sudah semester 6. Ya, kurang lebih sudah 3 tahun aku menjadi anak kosan. Untuk anak kosan seperti aku ini, hari jumat adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Bagaimana tidak? Hari jumat adalah waktu dimana secara fisik akhirnya aku bisa bertemu dengan keluarga. Bahkan tak jarang, baru saja sampai kosan rasanya sudah kangen rumah lagi. mungkin perasaanku ini tak jauh berbeda dengan anak kosan lainnya hehe
 
Ketika weekend sudah di depan mata, tentu bukan aku saja yang semangat untuk pulang. Jadi jangan heran jika jalanan berubah menjadi ganas ketika pulang bersamaan dengan orang-orang yang baru pulang kerja.
Tempat yang menjadi paling ganas menurut aku saat itu adalah halte TJ dan stasiun. Tapi inilah perjuangan, untuk bisa bertemu dengan orang terkasih di tempat terindah bernama rumah memang tidaklah murah harganya. Harga berdesak-desakkan dan antrian panjang mungkin cukup bisa membayarnya.

Anyway aku ini anak Bogor jadi untuk sampai ke rumah aku memiliki rute dan kendaraanya sendiri. Let’s check it out!


1.      1.
Bis TransJakarta 
Dari kampus timur UNJ aku berjalan menuju halte velodrome. Seolah-olah sedang menguji kesabaran para penumpangnya serta ingin melatih seberapa kuat kami menunggu, bus TJ yang begitu  diharapkan kedatangannya sering begitu lama. Apalagi ketika jam pulang kerja. Mungkin kamu lebih tahu? Hehe
Belum lagi di halte seribu tahun “Matraman” rasanya bersyukur sekali jika bisa memperoleh peluang bisa lewat tanpa harus merasakan lampu merahnya terlebih dahulu.
2.      2.
Kereta Commuter Line
Satu pembelajaran yang kuperoleh setelah 3 tahun terakhir ini begitu dekat dengan kendaraan satu ini. “Salah satu cara mensyukuri umur kita yang masih muda adalah kita harus bisa merelakan tempat duduk kita untuk orang yang lebih membutuhkan meskipun kamu bukan duduk di tempat prioritas”
Kerasnya kendaraan ini sudah menjadi rahasia umum. Berdiri dari manggarai sampai bogor tidaklah aneh lagi. Tapi jika adik dirumah sudah sms “kaka udah sampe mana?” itu rasanya benar-benar aku ingin cepat-cepat sampai rumah. Meskipun sebenarnya kalau di rumah ga jarang berantem hehe. Tapi itulah saudara, “Jauh dikangenin deket dijahilin” kita semua pun tahu itu hehe

3.      3.
Angkutan Umum
Setelah kurang lebih 1,5 jam di dalam kereta, aku harus naik angkot lagi kenyataan pahit yang harus diterima adalah kalau belum penuh, ini angkot belum mau berangkat.
Pelajaran lagi nih, HARUS SABAR

4.      4.
Jalan Kaki
Setelah selesai dengan kendaraan, selanjutnya aku harus berjalan di atas kakiku sendiri. Karena aku biasa berangkat dari kampus sore atau setelah maghrib, maka dari itu meski matahari sudah berganti bulan, aku tetap menyusuri jalan malam-malam. Be brave hehe

Setelah 4 tahapan ini aku lalui, aku pun bisa kembali mencium tangan dan pipi orang tuaku dengan penuh cinta. Melihat senyum mereka di bawah atap yang sama.
 
Setelah menjadi anak kosan, rumah sederhana ini aku nobatkan menjadi tempat terindah bagiku. 20 tahun sudah aku mengukir kisahku disini. Kehangatan di dalamnya yang tak kurasakan dimanapun membuatku begitu mudah umtuk merindukan semua hal yang telah terjadi di tempat ini. 

Sekian
  

Jumat, 25 Maret 2016

Surat dari Istana


Ketika semua orang mengelukan bangunan bertingkat
Ketika semua orang mencari bahan terbaik untuk dijadikan papan
Ketika semua orang menyukai cat berwarna penyejuk mata

Aku disini dengan gundukan barang tak berguna
Aku disini diselimuti wewangian yang mungkin tak kau suka
Aku disini yang tak jarang bermimpi
Ya, bermimpi dapat melepaskan kantukku diatas tempat cantik nan wangi

Tapi, meskipun begitu
Aku tak iri padamu kawan

Di ruangan 1 petak ini
Aku menghabiskan waktu bersama raja dan ratu dari istana ini
Hebat bukan?
Aku selalu makan bersama mereka
10 tahun ini mereka sudah sangat baik padaku
Karena itu  aku selalu berusaha membuat mereka tersenyum

Penjaga istanamu itu sangat galak kawan
Tapi setidaknya aku sudah pernah melihat istanamu dari luar
Mungkin sekali-kali kau mau berkunjung ke istanaku ini
Tenang saja penjaga pun aku tak punya
Jadi kau bisa datang kapanpun kau mau

Aku tunggu

Salam

Rabu, 23 Maret 2016

Cerpen Pertama

Ceritanya ketika SMA itu aku punya temen yang jago banget bikin cerpen. Lumayan tertantang deh jadinya untuk bikin cerpen juga. Alhasil, Alhamdulillah jadi tuh cerpennya. Dan sekarang aku baca lagi cerpen yang cukup usang itu hehe. Meskipun agak alay-alay gimanaa gitu (karena taulah cerita anak SMA kaya gimana haha) tapi cukup seneng dikitlaah karena seengganya pernah nyoba nulis cerpen.

Penasaran sama ceritanya? Let's check it out



Harusnya Memang Seperti  Ini

“Lu kalaaaah hahaha”, telingaku terasa sakit mendengarnya, bagaimana tidak Bobi berteriak begitu puas tepat di telingaku.
“Biasa aja kali, ga perlu teriak juga gue denger !”, gerutuku kesal. Tapi nyatanya gerutuku tak diacuhkan sama sekali. Bobi sang bandar malah sibuk diskusi dengan anggota lain untuk menentukan hukuman yang pas untukku.
“Yang pas buat dia itu apa ya?”, nadanya dibuat-buat seolah-olah sedang berfikir keras sembari menggaruk-garuk dagu.
“Mending suruh deketin si Adit a...”, belum sempat Fahmi menyelesaikan usulnya aku secepat kilat menangkisnya.
“Apaan sih lu? Ga ada yang lain apa? Beresin kamar lu kek atau apa gitu?”, jawabku sedikit kesal.
“Bener juga kata lu Mi, gue kasih lu waktu 2 minggu, deketin tuh si Adit !”, sambung Bobi.
Apaaaaa!!!, teriakku dalam hati.
“Bobi yang lain kali, pliiis”, aku sebisa mungkin memasang muka paling memelas sambil memohon-mohon.
(Bobi menggeleng)
“Lu mau bayarin makan kita selama 2 minggu? Segitu gue udah baik ya. Lagian apa susahnya sih deketin si Adit?  Dianya suka ini sama lu”, sambungnya hampir tanpa titik dan koma.
“Yaudahlah Sa, terima aja”
Bahkan sohibku Amel pun tidak membelaku.
Permainan ini memang konyol. Seharusnya dari awal aku tak ikut-ikutan. Sejak kapan coba main monopoli pakai hukuman kaya gini segala. Hm tak ada gunanya pula aku menggerutu seperti ini. Tapi tetap saja, mereka semua benar-benar kacau. Adit yang mereka maksud itu adalah cowo pendiam yang selalu duduk di pojok kelas.  Meski harus kuakui dia memang pintar dan setahuku banyak yang menyukainya. Tapi ada satu hal terekstrim yang pernah dilakukannya, dia pernah menyatakan perasaannya padaku di depan kelas. Entah apa yang membuatnya bisa berbuat senekat itu.
Aku yakin ini tak semudah yang mereka bayangkan. Ini sulit dan terlalu memalukan menurutku. Untuk saat ini aku hanya bisa pasrah.
-0-

“Jangan sia-siain waktu yang udah gue kasih”, bisik Bobi.
Kalau bukan temen deket, udah gue pites kali lu, gerutuku dalam hati.
Belum usai rasa jengkelku kepada Bobi, terdengar seseorang memanggilku. Dari suaranya aku tahu dia perempuan.
“Lisaaa kesini lu!”, ternyata Amel yang memanggil
“Apaaa?”, jawabku sembari melangkah dengan sedikit gontai
“Si Adit nyariin lu”, jawabnya
Tak kusadari kata-kata Amel berulang-ulang terdengar di telingaku
“Jiah malah bengong. Cepetan samperin gih!”, ucapnya.
Suara Amel sedikit mengagetkanku. Layaknya robot, langkahku pun langsung menuju dimana Adit berada. Meskipun Amel tak memberitahu tapi aku tahu Adit pasti di perpustakaan.
Setengah ngos-ngosan aku menghampirinya. Berdiri mematung tepat di depan meja tempat dia membaca. Setelah 5 detik berlalu, akhirnya dia mengangkat kepalanya,
“Ada apa?”, terdengar suara agak berat yang telah lama tak kudengar sedekat ini, aku merasa sedikit... merindukannya. Secepat kilat aku hilangkan fikiran itu.
“Kata Amel, lu nyariin gue? ”, jawabku sedikit kaku.
“Kata Amel, lu nunggu gue di perpus”, jawabnya dengan nada bingung.
Loh?? Ko gini sih?
“ Oh gue ngerti. Dasar Amel!”, gerutuku kesal
“Hahaha ternyata lu bisa dikerjain juga ya?” ucapnya begitu ringan
Dia sama sekali tidak berubah, dia tetap ramah sebagaimana biasanya. Oh Tuhan kenapa aku justru seperti ini. Dimana Talisa Nindira yang terkenal jutek itu...
“Ga ada yang lucu!”, akhirnya aku mampu mengeluarkan suara.
“Dasar nona jutek, gitu aja dianggap serius” ucap Adit. Kulihat terbentuk seulas senyum di bibirnya. Aku harus cepat-cepat mengakhiri ini, ujarku dalam hati.
“Kalau ga ada yang mau diomongin, gue pergi sekarang” ucapku ketus sambil berjalan keluar perpustakaan.
Kenapa aku bisa seperti ini? Tetaplah seperti dulu Lisa, kau tidak menyukainya jadi tak seharusnya kau gugup seperti ini. Aku terus saja menggerutu sambil mencari-cari si biang kerok Amel sampai-sampai aku tak menyadari bahwa seseorang sedang menghalangi jalanku sekarang. Seseorang itu adalah Adhi.
“Lu hampir aja nabrak orang tadi”, ucapnya galak
“Oh maaf kalau gitu”, jawabku datar
“Maaf lu diterima’, ucapnya datar pula
“Misi gue mau lewat”, ujarku sedikit kesal
“Oke oke” ucapnya sambil memiringkan badannya memberiku jalan
Lu suka sama orang itu Lis? Lu ga salah pilih orang? Ujarku terus dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Lu liat Amel?”, tanyaku pada seseorang yang berada di lorong sekolah
“Kalau ga salah ada di lapangan”, jawabnya
Setelah mengucapkan terima kasih, aku langsung melesat menuju lapangan. Setelah sampai di lapangan, terlihat sosok Amel sedang berdiri berhadap-hadapan dengan seorang lelaki, dari postur tubuhnya aku tahu itu Adhi.
Belum sempat aku melangkah, tubuhku terasa ditarik oleh seseorang ketika aku berbalik kulihat Fahmi dengan tangannya yang masih berada di tanganku kembali dia menarikku.
Apa yang sedang terjadi?? tanyaku dalam hati
Ketika aku baru saja mau mengeluarkan suara dia telah terlebih dahulu melepaskan tangannya dari tanganku seraya berkata, “Lu jangan ngerusak kebahagiaan orang kali. Tadi lu mau nyamperin Amel kan? Dia tuh lagi ditembak sama si Adhi. Masa lu.....”
Aku tidak dapat mendengar lagi lanjutan dari penjelasan Fahmi tersebut. Kata ‘ditembak’   terus mengiang di telingaku. Amel ditembak Adhi? Adhi nembak Amel? Amel ditembak Adhi?, tubuhku oleng. Untung Fahmi segera menyadarkanku.
“Lu kenapa?”, tanyanya khawatir
“Ga kenapa-kenapa. Gue mau ke toilet dulu ya” jawabku sekadarnya seraya pergi meninggalkan Fahmi yang masih berdiri terpaku.
-0-
Semenjak kejadian tadi, konsentrasiku akan pelajaran pun menjadi sedikit berkurang. Amel yang merupakan teman sebangku pun hanya bicara sedikit sedari tadi. Aku ingin sekali menanyakan tentang apa yang tadi kudengar dari Fahmi, tapi aku takut.
“Talisa!”, panggil Bu Guru
“I-Iya Bu”, jawabku sedikit panik
“Kerjakan soal no 13 di papan tulis”, perintahnya
Kini semua mata anak sekelas tertuju padaku, aku hanya bisa menghela nafas sambil beranjak dari bangkuku dan berjalan ke arah papan tulis dengan langkah malas.
Untung gue udah belajar bagian ini, ucapku tenang dalam hati
Aku harus melupakan hal ini untuk sementara waktu. Kini waktunya belajar, berarti saatnya aku untuk fokus terhadap pelajaran, tekanku dalam hati. Tapi tetap saja, ternyata sulit.
-0-
Hari ini adalah hari ulang tahun Bobi, semua teman-temannya diundang ke pestanya terlebih anak buahnya dalam permainan monopoli dia telah mewajibkan kami untuk datang semenjak pesta ulang tahunnya masih dalam tahap rencana. Sebetulnya aku malas datang, terlebih aku malas bertemu Adhi.  Tapi aku tidak enak hati kepada Bobi. Aku paling tidak suka berada di posisi seperti ini. Sikap egoisku akan mudah sekali keluar.
“Heuh gimana nanti aja deh”, ucapku sambil membenamkan wajahku ke arah bantal.
-0-
Ibu menyarankanku untuk pergi. Aku pikir Ibu telah memberi saran yang terbaik. Jadi aku memutuskan untuk pergi walau sebetulnya baju yang kupakai pun hanya sekedarnya.
Sesampainya aku di rumah Bobi. Semua undangan serempak bertepuk tangan, tersenyum dan mereka menyorakiku. Aku sadar aku telah telat 1 jam tapi aku tidak mengerti dengan sikap mereka yang seperti ini. Apa maksudnya ini? Perasaan panik mulai kurasa.
“Hey Lisa hey Adit kenapa pada diem disitu? Sini gabung”, teriak salah seorang dari kerumunan undangan.
Adit? Dimana Adit? Ga ada dia disini, ucapku bingung seraya membalikkan badan dan  kulihat sosok lelaki yang wajahnya begitu kukenal, dia tersenyum kaku. Apakah dia betul-betul Adit? Mengapa dia terlihat sedikit berbeda dengan kaos abu-abunya itu?
Tunggu. Kaos abu-abu? Refleksa aku melihat ke arah baju yang kupakai. Aku baru menyadari bahwa kami memakai baju yang berwarna sama. Apakah ini arti dari sorak-sorai tadi? Aku belum mendapat jawaban, ketika kusadari aku tersenyum, buru-buru aku kembali membalikkan badan dan dan berjalan ke arah Amel dkk tanpa menghiraukan Adit yang masih diam terpaku di belakangku.
-0-
Suasana pesta malam ini begitu meriah. Sorak-sorai terdengar di setiap sudut rumah. Suara dentuman musik pun ikut meramaikan. Kini lagu yang begitu kukenal sedang diputar “Westlife-More Than Word”, tanpa sadar aku pun ikut menyanyikan lagu tersebut, sampai akhirnya aku berhenti bernyanyi dan digantikan oleh desiran darah yang dilanjutkan dengan detak jantung yang terasa makin cepat senada dengan langkah Adhi yang kian mendekatiku.
“Congrats, couple grey”, ucapnya dengan wajah yang begitu keren dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Aku tak mendengarkan ucapannya dengan baik yang  kuperhatikan saat ini hanya wajahnya dan wajahnya.
Aku membalasnya dengan senyuman kembali dan mengucapkan terima kasih.
“Adhi”, teriak seorang perempuan, aku tahu itu suara Amel. Lamunanku seketika itu buyar.
“Lisa, lu disini juga”, ucapnya seraya melangkah ke arahku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
“Sekalian nih gue mau pamit pulang duluan hehe. Dhi pulang sekarang aja yuk”, ucapnya sambil menatapku dan Adhi bergantian.
Mereka mau pulang bareng?? aku menunggu jawaban Adhi.
Dia mengangguk pada Amel dan kemudian beralih menatapku.
“Tadi gue liat Adit berdiri sendirian di halaman”, ucapnya sembari mengerlingkan matanya.
“Gue sama Amel duluan ya”, lanjutnya.
Mereka pun pergi dan menyisakan aku yang kini berdiri mematung dengan wajah lesu. Mataku terasa panas. Kini yang terlintas di fikiranku hanyalah pulang, pulang dan pulang. Aku tak mau mempermalukan diri sendiri di tengah-tengah kerumunan oraang seperti ini.
Dengan tergesa aku pamit pada Bobi dan melesat pulang ke rumah.
-0-
“Pestanya Bobi seru ya. Apalagi pas bagian best couple award. Tau gitu gue ajak deh cowo gue kesana kemaren”, ujar seorang anak perempuan kepada temannya.
“Baru juga nyampe sekolah, udah ada topik baru lagi ckckck”, gerutuku seraya berjalan makin cepat menuju kelas.
-0-
Aku duduk termenung di bangkuku, lamunanku seketika itu buyar ketika terdengar seseorang dengan semangatnya berkata,
“Bob, pesta lu semalem asli keren banget. Sayang banget yang pada pulang duluan. Lu mau tau ga pesta lu itu pesta terkeren yang pernah gu datengin hahaha”, ternyata suara itu berasal dari Fahmi.
“Makasih makasih”, ucap Bobi
Kenapa semua orang mengelu-elukan pestanya Bobi sih?, kembali aku menggerutu dalam hati.
“Lisa ko ga bareng Adit lagi?”, tanya Adhi
“Dia kejebak macet, karena gue ga suka nunggu lama jadi gue duluan aja ke kelas”, jawabku asal dengan nada ketus.
Entah kenapa semenjak pesta semalam, aku jadi merasa kesal kepada Adhi. Rasanya aku ingin cepat-cepat menghilangkan perasaan sukaku padanya. Tapi bagaimana caranya??
Ketika aku sibuk memikirkan cara, terdengar seseorang berteriak dari luar kelas,
“Lisa pangeran lu dateng tuh”
Seketika itu aku menengok ke arah pintu. Adit datang. Tiba-tiba muncul ide di otakku. Kenapa ga beneran gue deketin aja si Adit? Toh gue emang masih dalam masa hukuman ini kan? Kembali seulas senyum menghiasi bibirku.
-0-
“Mau ke kantin ga?”, tanyaku kepada Adit yang masih menyalin materi dari papan tulis.
Entah dia kaget atau apa, kata yang keluar dari mulutnya hanyalah kata “ Hah?” tapi dengan cepat dia melanjutkan,
“Iya mau, tapi bentar ya gue beresin dulu ini. Tanggung hehe”
“Yaudah iya, tapi express ya nulisnya ”, ujarku sedikit girang.
Dia hanya mengangguk sembari tertawa terkikih. Kini Bobi dkk melihat ke arahku dengan raut wajah sedikit  bingung. Aku menyadari itu tapi aku pura-pura tak sadar.
“Cepet juga perkembangannya si Lisa ya”, ucap Fahmi. Meskipun suaranya setengah berbisik tapi aku tetap mampu mendengarnya. Selagi menunggu Adit, ekor mataku melihat ke sekeliling kelas, sampai akhirnya aku melihat sesuatu yang agak ganjil. Adhi mentap kearahku dan Adit dengan pandangan agak sinis.
“Apa maksudnya ini?”, tanyaku
“Maksud apa?”, tanya Adit
Hah, ternyata tadi aku mengeluarkan suara? Gawat nih.
“Bukan apa-apa. Nulisnya udah?”, jawabku cepat
“Udah ko”, jawabnya
“Yaudah sekarang aja yuk ke kantinnya”, ucapku seraya berdiri
Adit mengiyakan dan kami pun pergi ke kantin bersama.
-0-
Masa hukuman telah berhasil aku lewati. Tetapi aku dan Adit tetap terlihat dekat malah makin dekat. Kami tetap ke kantin bersama, pulang bersama, belajar bersama bahkan menghabiskan waktu luang bersama. Kini aku menjadi banyak tahu tentang dirinya begitupun sebaliknya. Kesan jutek mulai pudar semenjak aku dekat dengannya. Entah mengapa aku mulai merasa nyaman bersamanya. Satu hal yang paling aneh kurasa, setiap dia tersenyum padaku pasti aku akan membalasnya dengan senyuman yang dimiliki orang paling bahagia. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah aku telah sepenuhnya melupakan perasaanku pada Adhi? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus mengiang di telingaku.
“Adit, maaf ya lu gue jadiin pelampiasan”, ucapku pada diri sendiri.
-0-
“Talisa Nindira”, panggil seseorang
Tak perlu aku membalikkan badan untuk mencari tahu karena hanya Adit lah yang memanggilku dengan nama lengkap seperti itu.
“Ada apa Aditya Rizki?”, tanyaku
“Si Adhi nitip sesuatu ke gue. Gue masukin langsung ke tas lu aja ya”, jawabnya sembari membuka tasku.
“Eeh apaan emang? Sini gue liat dulu!”, ucapku sambil menarik tasku darinya. Tapi apa daya tenaganya lebih kuat dariku.
“Udah tenang aja gue yakin bukan bom isinya”, ucapnya sambil mengerlingkan matanya.
“Untuk memastikan lu liatnya di rumah. Gue anterin lu pulang ya”, lanjutnya
“Ko lu...”, belum sempat aku melanjutkan kalimatku, dia telah memotongnya dan kembali mengeluarkan suara.
“Ini perintah dari Adhi-nya. Udahlah ikutin aja ya”
Meskipun Adit  terlihat begitu misterius saat ini. Tapi aku pikir lebih baik untuk mengiyakannya saja. Aku pun mengangguk dan melangkah duluan menuju tempat parkir.
-0-
Motor Adit kini telah tiba di depan rumahku. Aku pun bergegas turun.
“Masuk dulu yuk”, ajakku
“Kapan-kapan deh ya. Udah sore soalnya”, ucapnya seraya melambaikan tangan
“Makasih ya”, teriakku saat dia telah melajukan motornya kembali.
Aku berlari menuju kamar dan langsung mengunci pintu. Kemudian aku membuka tasku pelan-pelan.
“Apa yang Adhi titipin sih?”, tanyaku terus dalam hati
Pertanyaanku menggantung di otakku saat kulihat sebuah amplop berwarna hijau di sela-sela bukuku.
“Apa betul ini yang dititipin? Ko gue ga yakin ya?”, ucapku seraya mengambil amplop itu. Aku bolak balik amplop tersebut terlebih dahulu sebelum akhirnya aku membuka amplopnya dan terlihatlah secarik kertas berwarna hijau pula.
Sejak kapan dia tau gue suka hijau atau apa ini cuma kebetulan?, ucapku tiba-tiba
Perlahan kubuka kertas hijau tersebut dan kutemukan banyak sekali kata disana. Kubaca dengan perlahan kata-kata tersebut.

Untuk Talisa Nindira
Mungkin udah saatnya gue jujur sama lu.
Soal kedekatan gue sama Amel, sebenarnya itu cuma gosip kelas yang dirancang oleh Bobi dkk buat memacu lu biar lebih deket sama Adit. Maaf gue baru bilang sekarang karena gue tahu hari-hari sebelumnya lu masih dalam masa hukuman.
Lis, jujur udah lama gue suka sama lu. Dan asal lu tahu, gue cemburu pas lu deket sama Adit dan rasanya tuh sakit banget saat gue juga harus ikut-ikutan manas-manasin lu.
Maaf karena gue baru berani ngungkapin perasaan gue sekarang. Tapi sebelum terlambat.
Lu mau ga jadi pacar gue?

Adhi Argiansyah C

Bukan raut wajah senang yang kini aku tunjukkan. Aku tahu itu karena perasaan bingunglah yang kini menyelimuti otakku. Kuakui aku masih menyukai Adhi sedangkan Adit, aku pun mulai menyukainya. Aku paling tak suka berada di posisi seperti ini. Karena aku tak pandai membuat keputusan.
Kutenangkan diriku dan langsung mengambil handphone kemudian mengirimkan sms kepada Adhi dan Adit.
“Oh Tuhan, semoga pilihanku kali ini benar”, ucapku seraya menutup wajahku dengan telapak tangan.
-0-
Kulangkahkan kaki diatas lantai keramik sekolah dengan perasaan gugup, sepanjang jalan aku terus menghembuskan nafas sekuat mungkin berharap aku bisa tenang sedikit tapi tak berhasil. Justru detak jantungku terasa semakin cepat ketika langkahku mulai mendekati kelas. Kemudian  kulihat Adit melambaikan tangannya padaku dan mulai mendekat ke arahku. Aku tak berani mengeluarkan suara terlebih dahulu dan sepertinya Adit mengerti karena tak lama dia pun mengeluarkan suaranya.
“Sejak awal gue udah tau kalau gue memang ga akan pernah jadi pacar lu. Tapi gue seneng karena setidaknya sekarang  gue sama lu punya status yang pasti yaitu SAHABAT”, ucapnya seraya mengacungkan jari kelingkingnya.
Setelah mendengar kata-kata Adit tersebut dengan senang  hati jari kelingkingku menyambut jari kelingkingnya dan kami pun tertawa bersama. Hening tercipta seketika ketika Adit menyikutku dan kulihat Adhi keluar dari dalam kelas dan menghampiriku. Perasaan gugup kembali menyelimutiku. Dia tersenyum dan memberikanku selembar kertas yang ketika kubuka, kulihat sebuah gambar dimana seorang perempuan dengan seragam putih abu-abunya terlihat serius membaca. Agak lama, tetapi akhirnya aku sadar seseorang itu adalah aku. Belum puas aku memerhatikan gambarannya. Adhi membalikkan kertasnya dan terbaca sebuah tulisan berbunyi,
Thank’s because you’ve already accepted me to be your boyfriend. I love you Talisa Nindira”
Senyum 3 jari kini menghiasi bibirku kemudian kutatap Adhi lekat-lekat dan kemudian dia pun mengusap-usap rambutku.
“PJ woooy PJ”, teriak Fahmi, Bobi dan Amel dari dalam kelas.
“PASTII, TENANG AJAA”, teriak Adhi dengan lantangnya seraya tertawa dan diikuti olehku dan Adit.

Tak ada yang tersakiti
Semua bahagia kini
Seharusnya dari awal kusadari
Harusnya memang seperti ini

 TAMAT



Yaa begitulah hasil dari penulis amatir. Masih banyak banget kurangnya tapi pastinya terus coba diperbaiki. Jangan lupa commentnya yaa :)